Berikut kisahnya dalam cerita pendek yang berjudul " Senja " karya : Krisdayanti.
SENJA
Bangku panjang itu basah karena gerimis sore ini. Tak kudapati orang-orang yang mau sekedar duduk santai di bangku panjang tersebut padahal kulihat taman ini hiruk pikuk oleh suara para pengunjung. Aku tau apa alasannya, mungkin.....
Mentari memang tengah bersedih sekarang. Dan langit menangisi kesedihannya. Senja hari ini memang tidak begitu buruk. Meski awan bergelayutan di langit, tapi mentari tetap berusaha untuk menerangi taman tersebut.
Aku berjalan pelan menuju bangku panjang itu setelah kuhirup dalam-dalam udara yang masuk ke paru-paruku. Dengan tubuh yang masih setengah basah akibat sapaan gerimis senja, kucoba untuk tetap tegar berdiri menatap bangku tersebut. Kuamati lekat-lekat benda yang terbuat dari kayu dengan empat kaki yang mulai rapuh itu. Tiba-tiba saja aku merasa ada setetes air jatuh mengenai pipiku. Aku mendongak ke atas, tidak hujan. Dan sekali lagi, air itu kembali menetes. Aku mulai menyadari, ini bukan air hujan. Tapi air mataku sendiri. Mungin jika dihitung, ini sudah ke-27 kali aku menangis di sini, di tempat ini, namun dengan senja yang berbeda.
Tragis memang. Tapi inilah takdirku, inilah hidupku, dan inilah akhir dari segalanya. Aku duduk di bangku panjang tersebut kemudian menatap ke sisi kanan tempat dudukku. Noda merah itu belum juga hilang meski hujan seringkali datang. Dan lagi, aku kembali teringat dengan satu tragedi mengerikan.........
Saat itu, langit tengah bergembira. Senja datang lengkap dengan warna jingganya. Aku juga bahagia waktu itu. Bahagia sekali. Duduk bersama seseorang yang aku sayangi dan dia juga menyayangiku.
“Khara, aku mau nanya, kamu bilang kamu suka hari senja kan? Apa yang kamu suka darinya..??” laki-laki itu bertanya padaku.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Satu hal yang dapat membuatku begitu menyayanginya, dia punya segudang pertanyaan yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumya. Dan aku suka dengan segala pertanyaan yang ia lontarkan untukku.
“Hhhh, entahlah. Aku juga tidak begitu yakin dengan alasanku. Tapi aku memang benar-benar suka dengan senja. Aku suka cahaya mentari di hari senja, aku suka udara di waktu senja, aku juga suka dengan semilir angin yang berhembus di saat senja, dan aku suka.... aku suka senja karena senja, aku dapat melihatmu untuk yang pertama kali.” Jawabku jujur.
Kulihat Dicky tersenyum menatapku. Dan aku tidak bisa memprediksi arti dari senyumannya itu. Satu alasan lagi mengapa aku bisa begitu menyayanginya, dia punya senyuman yang manis dan indah.
“Benarkah? Kalau begitu aku berhutang budi pada senja. Mmm, mungkin lain kali aku akan membalas budi baiknya padaku. Kalau aku masih punya banyak waktu.” Jawab Dicky tetap dengan senyumnya.
Aku mengerutkan kening. Kalau masih punya banyak waktu? Apa maksudnya? Memangnya dia akan kemana? Apa dia akan pergi meninggalkanku?
“Apa maksudmu? Jangan bicara begitu. Kau membuatku takut, Dicky.”
Lagi-lagi kulihat Dicky tersenyum kemudian mengelus lembut kepalaku. “Memangnya apa yang membuatmu takut? Aku memang tidak punya banyak waktu untuk bisa membalas kebaikan senja. Tentu saja, karena waktuku hanya akan kuhabiskan bersamamu.”
Kedua sudut bibirku terangkat begitu saja setelah mendengar jawabannya. Dicky lalu memelukku. Kami duduk di bangku panjang itu sambil menikmati langit senja yang indah. Semakin indah dengan seseorang yang aku cintai duduk di sampingku.
“Khara....”
“Iya.” Aku menoleh.
“Kamu bilang, kamu suka bunga krisan kan?”
Lagi-lagi aku mengerutkan kening, lalu mengangguk tiga detik setelahnya. Aku memang suka dengan bunga krisan. Bunga yang indah dengan berbagai macam warna yang cantik. Dan tentu saja, bunga krisan dengan warna jinggalah yang paling aku sukai.
“Baklah, kalau begitu aku akan membawakannya untukmu.” Kata Dicky lagi kemudian berjalan meninggalkanku.
Aku hanya memandangi punggungnya yang kian menjauh. Kulihat Dicky berjalan menuju segerombolan bunga krisan yang tumbuh liar di tepian taman dua puluh meter dari bangku panjang tempatku duduk. Ia melangkah menyeberang jalan, memetik setangkai bunga krisan warna jingga, kemudian berbalik menuju ke arahku.
“Kenapa hanya memetik satu?” tanyaku padanya setelah bunga itu berpindah tangan dari tangan Dicky ke tanganku.
“Memangnya aku harus memetik berapa untukmu?”
“Kamu harus memetik tujuh tangkai untukku.”
Dicky mengangkat sebelah alisnya. “tujuh? Kenapa harus tujuh?”
“Karena aku suka angka tujuh.”
Dicky tertawa renyah. “benar-benar gadis serakah kamu ya...”
“Hey, jangan mengataiku serakah. Aku bukannya serakah. Lagi pula bukan masalah jika kamu tidak mau mengambilkannya untukku.” Aku memasang tampang cemberut. Meskipun Dicky tau kalau aku tidak mahir dalam berpura-pura marah seperti ini.
Dicky semakin mengencangkan tawanya. “Baiklah nona Khara, akan saya ambilkan untuk anda.” Ia kembali berdiri hendak melangkah. Tapi aku memegang tangannya dan Dicky pun menoleh.
“Tidak perlu, aku akan memetiknya sendiri.”
Dicky mengendikkan bahunya, “baiklah, aku akan mengawasimu dari sini.” Ia kemudian duduk.
“Tutuplah mata, dan berhitunglah sampai angka dua puluh. Aku pasti sudah berada di dapanmu lagi seteleh kamu selesai berhitung.”
“Akan aku lakukan.” Jawabnya enteng sambil duduk di bangku panjang itu dan mulai berhitung.
Aku segera berlari menuju gerumbulan bunga krisan. Kupetik enam tangkai bunga itu dan segera kembali menghampiri Dicky. Namun baru melangkah sekitar sepuluh meter, kulihat ada mobil yang berjalan tidak beraturan. Mobil itu melaju ke arah Dicky. Dan aku mulai mengerti, akan ada sesuatu yang buruk terjadi.
“Dicky, buka matamu. Awas...!!!”
Braaakk.....
Tiba-tiba aku merasa jantugku berhenti berdetak. Sulit sekali untuk bernafas, seperti tidak ada udara di tempat ini. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa?
Kuseret kakiku yang terasa begitu berat untuk kulangkahkan. Aku berjalan pelan menghampii Dicky yang telah dikerumuni banyak orang.
Aku tercekat saat mengetahui itu. “Dicky, kenapa...? bangunlah, aku mohon, bangunlah...!!” suaraku bahkan hampir tidak terdengar.
Kulihat darah segar mengalir keluar dari kepalanya. Bagaimana mungkin. Apa yang harus kulakukan? Beberapa orang mulai menggotong tubuh Dicky dan melarikannya ke rumah sakit. Aku hanya diam melihatnya, masih belum mampu mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Dan saat aku merasakan tetesan air hujan jatuh mengguyur tubuhku, aku mulai menyadari, semuanya telah berakhir.....
Dia pergi. Dicky, kenapa kamu harus pergi...???
Ini merupakan hari ke-27 dimana seseorang yang aku sayangi pergi meninggalkanku. Aku mengamati noda merah itu sambil menangis. Sejak hari pertama sampai sekarang, terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi otakku. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa harus Dicky yang pergi? Kenapa pengemudi mobil itu bisa sampai menabraknya? Kenapa aku menyuruhnya menutup mata? Sehingga ia tidak tau jika ada kendaraan melaju menghampirinya. Kenapa? Siapa yang bisa menjawab semua pertanyaanku?
Senja, kau yang membawa Dicky kepadaku. Dan kau juga yang merampasnya dariku. Kalau akhirnya seperti ini, bukankah lebih baik jika kau tidak mengirimkan Dicky untukku? Hujan, kau adalah pelengkap deritaku. Kenapa kau selalu datang di saat aku tengah bersedih? Krisan, kau adalah bunga yang aku sukai. Tapi kenapa malah kau yang dengan senang hati bersedia mengantarkan kepergian Dicky dari hidupku? Kenapa...??
Dicky, sekarang aku sendiri. Jika kau benar-benar menyayangiku, kumohon kembalilah. Aku ingin melihat wajahmu sekali lagi.
Nice cerpen sob. I like it!
ReplyDelete